Total Tayangan Halaman

Senin, 22 November 2010

Review - The Social Nerwork Movie

Puluhan film telah dibuat tentang kisah pribadi seorang besar, tapi hanya sedikit yang bisa menyisakan ingatan. 'The Social Network' merupakan salah satunya.

'The Social Network' merupakan film untuk generasi digital abad ini. Dibuat berdasarkan buku berjudul 'The Accidental Billionares' karya Ben Mezrich, film ini menyajikan sebuah dramatisasi dari kisah pendiri situs jejaring sosial Facebook, Mark Zuckerberg yang telah menjadi jutawan saat berusia 25 tahun. Mark dalam film yang disutradarai David Fincher ini masih berusia 19 tahun, seorang mahasiswa tahun kedua Universitas Harvard yang tampak canggung, kaku, disfungsional secara sosial namun brilian.

Adegan pembuka film ini berlangsung di sebuah bar yang ramai. Mark (yang dimainkan secara luar biasa oleh Jesse Eisenberg) sedang berkencan dengan seorang mahasiswi Universitas Boston (beberapa tingkat lebih rendah daripada Harvard), Erica yang kelak menghancurkannya. Kecepatan berpikir Mark jauh melampaui kecepatan bicaranya. Ia lulus SAT (ujian masuk perguruan tinggi) dengan nilai penuh 1600 dan ia mengatakan bahwa Erica tidak perlu belajar karena ia kuliah di Universitas Boston (dan bukan di Harvard).

Erica marah dan memutuskannya. Mark yang sangat kecewa dan sedih berlari menuju asramanya di kampus Harvard dan mulai mencuri profil serta gambar-gambar gadis-gadis Harvard yang ada di jaringan internal universitas, dan membuat kontes perbandingan cewek mana yang lebih cantik dan lebih seksi. Ia menamainya FaceMash yang membuatnya hampir dipecat dari Harvard. 

Setelah percobaannya dengan FaceMash, dibantu teman programmer-nya, Dustin Moskovits ia membangun sebuah sistem di mana orang bisa melihat profil temannya, membagi informasi pribadi dan lain sebagainya. Dalam proses ini, teman sekamar Mark, Eduardo Saverin (diperankan dengan keterampilan akting yang mengesankan oleh Andrew Garfield) yang praktis merupakan satu-satunya teman baik yang ia miliki, menanamkan modal untuk pendirian dan operasional The Facebook di tahap-tahap awal.

Keberhasilan Mark membangun situs internal pertukaran profil dan Facemash di Harvard dilirik oleh tiga mahasiswa kaya, si kembar Cameron dan Tyler Winklevoss (keduanya diperankan oleh aktor yang sama, Armie Hammer) yang merupakan atlet dayung, sebuah olahraga bergengsi di universitas-universitas bergengsi, dan Divya Narendra, seorang mahasiswa matematika aplikatif. Ketiganya memiliki gagasan untuk membangun situs perjodohan di Harvard, bernama Harvard Connection.
Mereka meminta Mark menjadi programmer-nya dan Mark setuju. Namun pada akhirnya, ia tidak jadi bekerja untuk ketiga orang itu, justru membangun perusahaannya sendiri bersama Eduardo yang banyak menangani aspek keuangan dan bisnis The Facebook. Kerjasama yang tampaknya akan berhasil ini berubah menjadi pertikaian dengan tebusan mahal.

Mark dan Eduardo bertemu Sean Parker (diperankan dengan ciamik oleh Justin Timberlake), sang pendiri Napster yang digambarkan memiliki pengaruh buruk bagi Mark. Atas saran Sean juga, Mark memutuskan memindahkan bisnisnya ke Palo Alto, California dan menjadikan The Facebook menjadi Facebook yang kita kenal sekarang. Eduardo yang tidak menyukai keterlibatan Sean, dengan segala kerja keras dan kejujurannya tertinggal di Harvard dan berubah menjadi 'musuh' yang kelak menuntut Mark di pengadilan perdata atas kontribusinya terhadap pendirian Facebook.

Penulis skenario film ini, Aaron Sorkin menceritakan sebagian besar kisah Mark Zuckerberg dengan flashback, dengan perdebatan antarpengacara di dalam ruang negosiasi menduduki posisi penting. Drama ruang persidangan yang mengandalkan akting dari para tokoh membuat film ini mengalir bagaikan thriller tentang ambisi, kecemburuan, persahabatan, dan keserakahan.

David Fincher ('Fight Club', 'Panic Room') yang biasanya gemar dengan kelihaian visual, macam tata sinematografi yang cair dan bergerak bebas, kini berfokus untuk menggarap akting dan cerita. Meski begitu, dialog-dialog yang ditulis secara cerdas oleh Sorkin mendapatkan eksekusi visual yang tetap memadai. Bahkan kadang di beberapa bagian, terutama kala pertandingan dayung di Thames, David Fincher dan sinematografer Jeff Cronenweth yang bekerja dengan teknologi digital (bukan seluloid) mampu menampilkan kelihaiannya mengatur fokus gambar. 
Aspek pencahayaan dan musik juga menjadi perhatian penting David Fincher. Dengan pendekatan cahaya yang ekspresionistik (kontras terang-gelap yang besar), David Fincher berhasil menggambarkan atmosfer Harvard yang sangat dingin, dan juga karakter Mark Zuckerberg yang tak hanya paranoid tapi juga cenderung anti-sosial. Penggambaran karakter Mark yang juga cenderung sangat sederhana namun mengena terlihat dalam adegan-adegan ketika Mark yang tidak banyak tertarik dengan hal-hal lain di luar dirinya, berada di depan komputer, kadang dengan wajah penuh konsentrasi, kadang dengan raut muka kosong.

Film ini bukanlah dongeng moral tentang baik dan buruk, pahlawan atau pecundang. Dalam film ini, Mark Zuckerberg tidak digambarkan sebagai seorang yang penuh dengan ambisi kekuasaan untuk menghancurkan musuh-musuhnya dan meninggalkan kawan-kawannya. Seperti yang dikatakan Erica dan diulangi oleh pengacara perempuan di sidangnya, ia hanyalah orang yang menjengkelkan.

Dalam diskursus film seperti ini, pertanyaan apakah film mampu menyamai atau meniru realitas tidak lagi penting. Meski lebih banyak diceritakan dengan sudut pandang Eduardo, film ini mampu memberikan dimensi lain pada kepribadian Mark Zuckerberg yang kompleks. Yang paling menarik tentu saja, bahwa orang yang memiliki ambisi untuk membuat dunia yang lebih terbuka, dunia yang lebih terhubung secara sosial justru adalah orang-orang yang tidak mampu hidup secara sosial.

Persoalannya bukanlah bahwa Mark Zuckerberg dan Sean Parker membuat sesuatu yang besar seperti Facebook sebagai sebuah pelarian setelah diputuskan oleh pacar-pacar perempuannya. Melainkan, bagaimana ambisi orang-orang seperti Mark dan Sean menjadi bagian dari klub elit yang didefinisikan oleh 'sosial' telah mendorong mereka untuk menjadi pahlawan yang berakhir dengan tragis: tak punya kawan, tak bisa mendapatkan cinta.  



Source (Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia adalah salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar